Menurut anda, apakah yang akan dirasakan orangtua ketika melihat sendiri seorang kakak memukul seorang adik? Adakah orang tua senang dan gembira melihat kejadian ini?
Tentu saja tidak, bukan?
Siapapun, entah pakar pendidikan, psikolog,parenting trainer, ulama, syaikh, pendeta, ustadz, pemuka agama sekalipun wajar merasa sedih, kecewa, atau jengkel melihat kejadian seperti itu.
Emosi adalah bagian dari diri kita sebagai manusia. Ada emosi positif dan emosi negatif. Manusia yang tidak memiliki emosi justru bukan manusia. Kita hanyalah manusia biasa yang sangat wajar memiliki emosi.
Yang harus kita pelajari adalah, BAGAIMANA CARANYA emosi ini kita salurkan dengan cara TIDAK MERUGIKAN & TIDAK MENYAKITI siapapun.
Coba perhatikan, renungkan baik-baik, dalam keadaan apa sih emosi (negatif) kita sering muncul? Bukankah emosian itu muncul pada saat anak tidak nurut? Sederhananya, yang sering membuat emosi adalah anak berbuat buruk dan kita tidak ingin anak melakukannya lagi
Nah, sekarang ketauan bukan, yang sebenarnya bermasalah bukanlah emosi kita, melainkan KITA BELUM DAPAT MENGENDALIKAN PERILAKU ATAU PERBUATAN ANAK YANG MEMBUAT KITA EMOSI.
Dari hasil survei yang saya lakukan, setidaknya ada 7 perilaku yang sering memancing emosi orang tua :
1. Bertengkar/berkelahi, dengan saudara atau teman
2. Kecanduan menonton televisi, game, internet
3. Lelet di pagi hari : susah bangun, telat ke sekolah
4. Konsumtif (banyak jajan dan beli mainan)
5. Rewel, terlalu cengeng, dan tukang ngamuk
6. Berkata kotor, suka teriak, suka memukul, mencubit, menggigit, menjambak dan lainnya
7. Malas mengerjakan rutinitas harian : sholat, mandi, sikat gigi, belajar, membereskan mainan, tidur
Dari ketujuh masalah tersebut, bertengkar/berantem adalah perilaku buruk anak yang tidak bisa diatasi, tapi bisa dikelola. Sedangkan enam yang lainnya bisa diatasi/dikendalikan, bahkan dihentikan.
Pertengkaran sebenarnya anugerah Allah untuk mereka belajar menghadapi konflik masa depan. Jika anak sama sekali tidak bertengkar, bagaimana mereka belajar mengelola konflik ketika beranjak dewasa?
• Anak bukan orang dewasa mini •
Pernahkah anda menemukan bagaimana seorang kakak yang begitu semangat usil pada adiknya? Ia tak puas jika belum melihat adiknya menangis.
Oleh karena anda menganggap si kakak adalah 'orang dewasa mini', maka anda akan duduk, menatap si kakak dan MEMBERITAHUKAN kesalahannya. Anda juga mungkin akan memberi informasi untuk tidak merugikan adiknya dan bisa membuat anda emosi. Kemudian anda akan memberi pelajaran soal empati "bagaimana kalau kalau kamu yang diejek temanmu?"
Jika ia adalah 'orang dewasa mini', mungkin ia akan diam sejenak dan berucap "Begitu ya, ma? Oh..aku ga tau. Sekarang aq udah tau kalo mengejek itu merugikan. Baiklah besok gak akan aku ulang"
Orang tua pun berkhayal bahwa besok-besok tidak akan terjadi lagi. Namun kenyataannya tidak demikian, bukan? :D
Ini adalah salah satu biang kerok yang sering kali membuat kita emosi menghadapi perilaku anak-anak. Asumsi anak-anak adalah "orang dewasa mini' telah menyebabkan orangtua hanya mengandalkan PEMBERITAHUAN, dan hanya mengandalkan OMONGAN kepada anak. Dan jika sudah terlalu banyak ngomong saat anak berbuat buruk, biasanya -karena tidak berhasil- kemudian berubah menjadi terlalu banyak emosi.
Akhirnya sekarang anda menemukan diri anda terjebak lagi pada pusaran BICARA baik-baik, jika tidak berhasil, BENTAK anak baik-baik. Jika tidak berhasil, CUBIT anak baik-baik. Dan kemudian siklus berulang.
Mengapa disebut baik-baik? Karena seringkali dianggap wajar dan kadang diselingi istighfar.
Apakah berarti memberitahu anak dan memberi penjelasan tidak boleh? Tentu saja tidak demikian. Berbicara, memberitahu, dan memberi penjelasan kepada anak adalah sebuah perbuatan yang memang tidak bisa dihindari orang tua dan menjadi bagian dari proses pengasuhan itu sendiri.
Berapa banyak nasihat masuk pada pikiran anak? Pada saat bermasalah, maka anak cenderung tertekan. Pada saat tertekan, otak reptil akan merespon 2 hal : LAWAN atau LARI.
Lawan bisa termanifestasi dalam bentuk serang balik orang tua, mendebat). Lari termanifestasi dalam bentuk diam seolah menurut, tapi sesungguhnya cari aman.
Jadi, berikanlah nasehat ketika kondisi sudah terkendali. Bukan ketika anak dalam situasi tertekan
• Menyalahkan Situasi atau Mengendalikan situasi •
Mari kita bayangkan situasi ini :
Anda adalah ibu rumah tangga, tidak bekerja, tidak pakai asisten. Bukan karena idealisme,tapi karena keuangan pas-pasan. Anak ada lima : 6 tahun, 5 tahun, 4 tahun, 2 tahun, dan 2 bulan.
Kira-kira apa yang anda rasakan sehari-hari?
Anak ke-1 dan 2 berantem. Si sulung memukul adiknya, ia pun melengking "Mamaaaa..."
Anak ke-3 sudah 5 menit menangis karena minta dibelikan es krim, padahal abangnya udah lewat.
Belum selesai, anak ke-4 buang air besar di celana. Dia menangis tidak nyaman!
Bersamaan dengan anak ke-5 yang menangis karena sudah jam tidur.
Pilih mana : menyalahkan situasi atau mengendalikan situasi?
Jika anda merasa pusing, penat dan stres tiap hari, apakah kira-kira akan menghasilkan generasi berkualitas seperti yang anda idam-idamkan?
Jadi kuncinya adalah MENGENDALIKAN EMOSI DAN SITUASI
Bukan soal banyak sedikitnya anak, namun bagaimana kita memupuk ketrampilan diri supaya trampil mengendalikan anak-anak kita sendiri. Insya Allah, jika perbuatan buruk anak terkendali, makan berkurang pula "tidak sabaran dan emosian" orang tua yang negatif-negatif itu.
• Disiplin tidak sama dengan pengekangan •
Coba periksa sekeliling Anda, perhatikan bagaimana pola interaksi anak-anak yang bermasalah dengan orang tuanya. Jika digeneralisasi, anak-anak ini pasti diantara dua hal ini : KURANG PERHATIAN atau OVERDOSIS PERHATIAN
Serba terlalu memang dapat menimbulkan banyak masalah. Menjadi pendiam itu boleh. Tapi kalau terlalu pendiam, itu bisa bermasalah. Apa pekerjaan orang gila sebelum jadi gila? Ya, betul. Banyak diam. Orang-orang yang membunuh secara kejam pun hampir semuanya adalah orang yang tidak banyak bicara. Periksa arsip kriminalitas jika tidak percaya.
Terlalu banyak bicara juga bisa bermasalah. Mungkin perkataan kita menjadi tidak terkendali, menyakiti, dan menyinggung banyak orang. Atau bisa jadi malah bicara yang tidak perlu. Ngomongin orang misalnya.
Begitu pun soal mendidik anak. Terlalu membebaskan anak tanpa batasan, boleh jadi membuat ia liar tak terkendali. Tak mengenal etika dan norma kehidupan. Pun, terlalu mengekang anak, dapat pula membuat anak jadi bermasalah.
Lembut pada anak itu wajib, tapi bukan lembek. Tidak ada hubungannya lemah lembut dengan masalah kemandirian. Abaikan bila ada orang yang bilang lemah lembut ke anak akan bikin manja dan tidak mandiri.
Jika menuruti apapun yang anak minta, itu artinya anda lembek. Tak tahan dengar rengekan, tangisan, dan amukan jadi diturutilah apa maunya.
Di sisi lain, orang tua wajib tegas pada kondisi tertentu. Ketegasan itu implementasi bahwa kita punya otoritas untuk mengendalikan anak. Hanya saja otoritas itu dapat rusak jika tak bisa tegas pada anak, orang tua bohong dan ingkar janji pada anak, tidak konsisten pada anak, orangtua sering mengatakan yang tidak dilakukannya, maka otomatis otoritas itu akan hilang karena perkataan orangtua tidak dipercaya lagi oleh anak.
copas FB: Vyta Ummin Thariiq-Syahiida
*bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
no sara
no bully
always keep smail