Mengapa Anak TK Tak Boleh Diajari Calistung?
.
.
.
Pertanyaan dari orang tua :
-Apa dengan tidak mengajarkan ke anak Baca Tulis Hitung (Calistung) di usia emas, itu berarti memanjakankan anak yang memiliki kemampuan akademis???
-Kita khan bisa menyelipkan huruf-huruf atau angka-angka dalam proses bermain anak.
-Kalau mereka mampu kenapa tidak diteruskan (kemampuan otak anak kan juga berbeda-bed, ada yang mudah nangkap dan ingatannya tajam dan ada juga yang tidak kan?
Jawaban :
Jadi begini, kita harus menyadari bahwa mayoritas orang Indonesia itu belum banyak yang memahami perkembangan otak anak, hal itu mengakibatkan para orangtua salah mengasuh dan para guru salah mendidik. Dan apa akibatnya? Kita urai dulu bersama…ya...
Pernah lihat orang tua yang seharusnya sudah dewasa, namun masih bertingkah seperti anak-anak? Banyak…..hehehe
Berikut ini contoh gambaran sederhananya…,
Banyak orang diluar sana (apalagi yang belum membaca tulisan ini, atau hanya membaca judul dari tulisan ini) terbiasa mengapresiasi anak yang rangking teratas (5 sampai 10 besar), nilai sempurna (80-100) namun belum banyak yang mengapresiasi kerja keras anak dalam belajar.
Padahal ada anak yang sudah belajar mati-matian tapi mereka tetep gak dapat nilai bagus gak dapat rangking karena kemampuan mereka tidak sama, bakat mereka pun beda-beda dan orang tua belum maksimal memberikan teladan dan perhatiannya. Anak kita manusia lo, bukan robot.
Apa akibatnya?
Ketika Ujian sekolah melakukan kecurangan DIAMINI OLEH ORANG TUA, saya lihat sendiri, saya pun dengar sendiri dan merasakannya langsung. "Terserah pake cara apapun, yang penting dapat nilai, bisa lulus, dapat ijazah" itu kata-kata yang sering saya dengar dari orang tua.
Kalau anak-anak kita terbiasa dihargai kerja kerasnya bukan hanya hasil akhir, angka ataupun nilainya semata, mereka pasti menolak disuruh untuk berlaku curang, karena mereka percaya diri dengan hasil belajarnya sendiri, anak-anak kita yakin bahwa rejeki karena kerja keras dan ijin Tuhan, bukan karena selembar kertas yang isinya nilai ujian.
Namun bagaimana kenyataannya sampai saat ini??? Banyak anak-anak yang melaksanakan perintah memalukan itu, yang lebih memalukan lagi, perintah menconteknya datang dari orang tuanya sendiri.
Kita pasti sudah familiar dengan kisah Rosulallah yang ketika menjadi imam sholat beliau sujudnya lamaaaa sekali.
Lalu para sahabat bertanya: “kenapa lama? apakah Rosulallah sedang menerima wahyu dari Allah SWT?” Rosul menjawab:”tidak, cucuku tadi menaiki punggungku”.
Jadi beliau menunggu sampai cucunya turun dari punggungnya. Beliau tidak memberi isyarat pada cucunya untuk turun.
Berbeda dengan yang sebagian dari kita lakukan, mungkin saja anak itu minimal kita bentak, kita suruh pergi, karena kita sedang melakukan ritual, bkarena kita anggap sebagai gangguan, lupa kalau itu amanah, bener kan hehehe :)
Apa yang kita petik dari kisah diatas?
========================
Ternyata Rosul lebih mementingkan/ mendahulukan cucunya yang sedang bermain-main ketimbang ritual ibadahnya. Lalu apa hubungan kisah diatas dengan perkembangan otak?
Begini, ijinkan saya memberikan penjelasan bahwa sambungan otak anak-anak itu belum sempurna, otak mereka baru siap menerima hal-hal kognitif pada usia 7-8 tahun.
Sebelum usia itu, dunia mereka adalah dunia bermain, bermain dan bermain, anak balita tidak boleh dimarahi apalagi dibentak. Apa saja yang termasuk dalam hal-hal kognitif itu :
1. Pengetahuan/hafalan/ingatan (knowledge)
2. Pemahaman (comprehension)
3. Penerapan (application)
4. Analisis (analysis)
5. Sintesis (syntesis)
6. Penilaian/penghargaan/evaluasi (evaluation)
Dan menariknya tentang hal ini, sebelum ada ahli otak yang meneliti, ternyata Rosulallah sudah menerapkan hal itu pada cucunya.
Lalu apa akibatnya kalau masa-masa usia bermain mereka direnggut untuk belajar hal-hal yang kognitif?
Ya seperti yang sudah saya sedikit singgung di awal tulisan ini, saat dewasa nanti bertingkah seperti anak kecil, suka mengurung burung demi kesenangannya sendiri, sakit-sakitan karena ingin diperhatikan orang-orang sekitarnya.
Anak kita dengan santai saja melakukan korupsi demi kepentingan diri sendiri/keluarga/golongan dan tidak merasa bersalah malah ngeles terus di pengadilan, padahal dia tau yang dia lakukan salah dan masih banyak sikap kekanak-kanakan lainnya. Naudzubillah min dzalik
Ada ciri-ciri bahwa perkembangan otak anak belum siap untuk menerima hal-hal kognitif, antara lain :
1. Ketika kita membacakannya sebuah cerita atau dongeng, mereka akan meminta kita mengulanginya lagi, lagi dan lagi. Kita yang tua sampai bosen, namun dia seperti tak pernah bosen mendengar cerita kesukaannya itu diulang-ulang, berkali-kali, berhari-hari. Hehehe
2. Anak yang antusias belajar membaca dan akhirnya bisa membaca namun ternyata mereka tidak paham dengan apa yg mereka baca.
.
Namun sebaliknya, kalau anak-anak kita hari ini minta dibacakan cerita A besok minta cerita B besoknya lagi C esok lagi D dan kalau mereka sudah paham dengan apa yang dibacakan, artinya otak mereka sudah siap menerima hal-hal yang bersifat kognitif.
Lalu bagaimana seharusnya pola asuh kita pada anak usia 0-7 tahun?
1. Jangan dimarahi
2. Tidak diajarkan membaca, menulis, menghitung.
3. Bermain role play; memahami bahasa tubuh, suara dan wajah; berbagi hal yg memberikan pengalaman emosional, field trip, mendengarkan musik, mendengarkan dongeng,
4. Pola pengasuhan dan pendidikannya ditujukan untuk membangun emosi yang tepat, empati, (mood & feeling)
Jadi, aturan pemerintah tentang usia masuk SD harus minimal 7 tahun itu bukan tanpa alasan.
Tentu boleh-boleh saja menyelipkan angka dan huruf, tapi tujuan utamanya bukan untuk belajar membaca, menulis dan menghitung. Mudah nangkep & ingatannya tajam atau tidak, itu bukanlah ukuran yang tepat.
Usia emas anak semestinya kita artikan sebagai masa-masa tumbuh kembang anak yang paling pas untuk kita tanamkan budi pekerti dan akhlak yang mulia
Slogan sekolah TK “Bermain sambil belajar” itu maksudnya belajar sambil bemain. Jadi mohon jangan diartikan sebagai belajar calistung, baca, tulis dan hitung.
Lalu apa akibat ketika kita memaksa mengajarkan hal-hal kognitif ke dalam otak sebelum waktunya?
1. Membuat anak tidak mampu menunjukkan emosi yg tepat.
2. Kurang dapat mengendalikan emosi (intra personalnya terganggu)
3. Sulit menunjukkan rasa empati.
Sudah banyak orangtua yang mengeluh ke saya tentang anak-anaknya ketika masih usia dini sangat antuasias belajar CALISTUNG lebih unggul dari teman seusianya.
Kemudian orangtuanya merespon dengan memberikan porsi lebih banyak untuk belajar calistung, entah itu mengajari sendiri secara intensif atau memasukkannya ke les-les calistung.
Namun apa yang terjadi, ujung-ujungnya datang pada satu masa (biasanya kelas 3 atau 4 SD) anak-anak itu bosan belajar, lalu akhirnya mogok belajar mogok sekolah.
Mereka menjadi malas dan malas itu sebenarnya terjadi karena otak anak karena sudah kelelahan karena terforsir. Bahkan ada kejadian yang lebih disayangkan lagi, ada anak yang sebenarnya pinter namun saat mau ujian malah blank, nggak bisa mikir sama sekali.
Lalu gimana solusinya kak Cand ?
Begini ya…sebenarnya kita hanya perlu waktu 3 bulan untuk melatih seorang anak bisa metematika atau dalam bidang yang ingin dia tekuni.
Namun, diperlukan waktu lebih panjang untuk bisa membuat seorang anak mampu berempati, tangguh, kreatif, peduli kepada teman, kepada lingkungan serta memiliki karakter yang mulia untuk bisa menciptakan kehidupan yang lebih baik.
Hal ini sudah banyak dibuktikan oleh orang-orang yang sudah sukses dalam mendidik anak-anaknya agar kesuksesan dalam keluarganya terus berkelanjutan.
Semoga bermanfaat, nanti malam saya adakan kelas diskusi di grup BSP GLOBAL, tentang mengelola hati dan pikiran saat mengasuh anak dan mengelola keluarga.
Semoga ini jadi jalan solusi atas masalah-masalah selama ini yang sudah menumpuk di hati
Salam hebat, Penuh Semangat!
Candra Adhi Wibowo & Bubu Baba
Untuk Keluarga Hebat Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
no sara
no bully
always keep smail